Kamis, November 27, 2008

Resesi Ekonomi 2008_Gawat???Solusinya???

Artikel Bisnis dan Keuangan, www.niriah.com
Telaah Terhadap Akar Krisis Keuangan Global
“Pengaitan sektor moneter dengan sektor riil sebagai obat untuk mengatasi gejolak krisis Finansial”
Oleh : Agustianto (Dosen Pascasarjana UI dan Trisakti)
Krisis keuangan hebat sedang terjadi di Amerika Serikat, sebuah bencana besar di sektor ekonomi keuangan. Bangkrutnya Lehman Brothers, perusahaan sekuritas berusia 158 tahun milik Yahudi ini menjadi pukulan berat bagi perekonomian AS yang sejak beberapa tahun terakhir mulai goyah. Para analis menilai, bencana pasar keuangan akibat rontoknya perusahaan keuangan dan bank-bank besar di Negeri Paman Sam satu per satu, tinggal menunggu waktu saja.
Bangkrutnya Lehman Brothers langsung mengguncang bursa saham di seluruh dunia. Bursa saham di kawasan Asia seperti di Jepang, Hongkong, China, Asutralia, Singapura, India, Taiwan dan Korea Selatan, mengalami penurunan drastis 7%-10%. Termasuk bursa saham di kawasan Timur Tengah, Rusia, Eropa, Amerika Selatan dan Amerika Utara. Tak terkecuali di AS sendiri, para investor di Bursa Wall Street mengalami kerugian besar, bahkan surat kabar New York Times menyebutnya sebagai kerugian paling buruk sejak peristiwa serangan 11 September 2001.
Indonesia juga terkena dampaknya. Pada tanggal 8 Oktober 2008, kemarin, IHSG tertekan tajam turun 10,38 %, yang membuat pemerintah panik dan terpaksa menghentikan (suspen) kegiatan pasar modal beberapa hari. Demikian pula Nikken di Jepang jatuh lebih dari 9 %. Pokoknya, hampir semua pasar keuangan dunia terimbas krisis financial US tersebut. Karena itu para pengamat menyebut krisis ini sebagai krisis finansial global. Krisis keuangan global yang terjadi belakangan ini, merupakan fenomena yang mengejutkan dunia, tidak saja bagi pemikir ekonomi mikro dan makro, tetapi juga bagi para elite politik dan para pengusaha.
Dalam sejarah ekonomi, ternyata krisis sering terjadi di mana-mana melanda hampir semua negara. Krisis demi krisis ekonomi terus berulang tiada henti, sejak tahun 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, dan 1998 – 2001 bahkan sampai saat ini krisis semakin mengkhawatirkan dengan munculnya krisis finansial di Amerika Serikat . Krisis itu terjadi tidak saja di Amerika latin, Asia, Eropa, tetapi juga melanda Amerika Serikat.
Roy Davies dan Glyn Davies, 1996 dalam buku The History of Money From Ancient time oi Present Day, mengurakan sejarah kronologi secara komprehensif. Menurut mereka, sepanjang abad 20 telah terjadi lebih 20 kali kriss besar yang melanda banyak negara. Fakta ini menunjukkan bahwa secara rata-rata, setiap 5 tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta umat manusia.
Pada tahun 1907 krisis perbankan Internasional dimulai di New York, setelah beberapa dekade sebelumnya yakni mulai tahun 1860-1921 terjadi peningkatan hebat jumlah bank di Amerika s/d 19 kali lipat. Selanjutnya, tahun 1920 terjadi depresi ekonomi di Jepang. Karena takut mata uang menurun nilainya, gaji dibayar sampai dua kali dalam sehari. Selanjutnya, pada tahun 1927 krisis keuangan kembali melanda Jepang (37 Bank tutup); akibat krisis yang terjadi pada bank-bank Taiwan.
Pada tahun 1945 – 48 Jerman mengalami hyper inflasi akibat perang dunia kedua. Selanjutnya tahun 1945-1955 Krisis Perbankan di Nigeria Akibat pertumbuhan bank yang tidak teregulasi dengan baik pada tahun 1945. Pada saat yang sama, Perancis mengalami hyper inflasi sejak tahun 1944 sampai 1966. Pada tahun (1950-1972) ekonomi dunia terasa lebih stabil sementara, karena pada periode ini tidak terjadi krisis untuk masa tertentu.
Namun ketika tahun 1971 Kesepakatan Breton Woods runtuh (collapsed). Pada hakikatnya perjanjian ini runtuh akibat sistem dengan mekanisme bunganya tak dapat dibendung untuk tetap mempertahankan rezim nilai tukar yang fixed exchange rate.
Pada tahun 1974 Krisis pada Eurodollar Market; akibat west German Bankhaus ID Herstatt gagal mengantisipasi international crisis. Selanjutnya tahun 1978-80 Deep recession di negara-negara industri akibat boikot minyak oleh OPEC, yang kemudian membuat melambung tingginya interest rate negara-negara industri.
Selanjutnya pada tahun 1980 terjadi krisis hutang di Polandia; akibat terpengaruh dampak negatif dari krisis hutang dunia ketiga. Banyak bank di eropa barat yang menarik dananya dari bank di eropa timur.
Pada saat yang hampir bersamaan yakni di tahun 1982 terjadi krisis hutang di Mexico; disebabkan outflow kapital yang massive ke US, kemudian di-treatments dengan hutang dari US, IMF, BIS. Krisis ini juga menarik Argentina, Brazil dan Venezuela untuk masuk dalam lingkaran krisis.
Perkembangan berikutnya, pada tahun 1987 The Great Crash (Stock Exchange), 16 Oct 1987 di pasar modal US & UK. Mengakibatkan otoritas moneter dunia meningkatkan money supply. Selanjutnya pada tahun 1994 terjadi krisis keuangan di Mexico; kembali akibat kebijakan finansial yang tidak tepat.
Pada tahun 1997-2002 krisis keuangan melanda Asia Tenggara; krisis yang dimulai di Thailand, Malaysia kemudian Indonesia, akibat kebijakan hutang yang tidak transparan. Krisis Keuangan di Korea; memiliki sebab yang sama dengan Asteng.
Kemudian, pada tahun 1998 terjadi krisis keuangan di Rusia; dengan jatuhnya nilai Rubel Rusia (akibat spekulasi) Selanjutnya krisis keuangan melanda Brazil di tahun 1998. Pada saat yang hampir bersamaan krisis keuangan melanda Argentina di tahun 1999. Terakhir, pada tahun 2007-hingga saat ini, krisis keuangan melanda Amerika Serikat.
Dari data dan fakta historis tersebut terlihat bahwa dunia tidak pernah sepi dari krisis yang sangat membayakan kehidupan ekonomi umat manusia di muka bumi ini.
Apakah akar persoalan krisis dan resesi yang menimpa berbagai belahan dunia tersebut? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, cukup banyak para pengamat dan ekonom yang berkomentar dan memberikan analisis dari berbagai sudut pandang.
Dalam menganalisa penyebab utama timbulnya krisis moneter tersebut, banyak para pakar ekonomi berkonklusi bahwa kerapuhan fundamental ekonomi (fundamental economic fragility) adalah merupakan penyebab utama munculnya krisis ekonomi. Hal ini seperti disebutkan oleh Michael Camdessus (1997), Direktur International Monetary Fund (IMF) dalam kata-kata sambutannya pada Growth-Oriented Adjustment Programmes (kurang lebih) sebagai berikut:
“Ekonomi yang mengalami inflasi yang tidak terkawal, defisit neraca pembayaran yang besar, pembatasan perdagangan yang berkelanjutan, kadar pertukaran mata uang yang tidak seimbang, tingkat bunga yang tidak realistik, beban hutang luar negeri yang membengkak dan pengaliran modal yang berlaku berulang kali, telah menyebabkan kesulitan ekonomi, yang akhirnya akan memerangkapkan ekonomi negara ke dalam krisis ekonomi”.
Sementara itu, menurut pakar ekonomi Islam, penyebab utama krisis adalah kepincangan sektor moneter (keuangan) dan sektor riel yang dalam Islam dikategorikan dengan riba. Sektor keuangan berkembang cepat melepaskan dan meninggalkan jauh sektor riel. Bahkan ekonomi kapitalis, tidak mengaitkan sama sekali antara sektor keuangan dengan sektor riil.
Tercerabutnya sektor moneter dari sektor riel terlihat dengan nyata dalam bisnis transaksi maya (virtual transaction) melalui transaksi derivative. Tegasnya, Transaksi maya sangat dominan ketimbang transaksi riil. Transaksi maya mencapai lebih dari 95 persen dari seluruh transaksi dunia. Sementara transaksi di sektor riel berupa perdagngan barang dan jasa hanya sekitar lima persen saja.
Sebagaimana disebut di atas, perkembangan dan pertumbuhan finansial di dunia saat ini, sangat tak seimbang dengan pertumbuhan sektor riel. Realitas ketidakseimbangan arus moneter dan arus barang/jasa tersebut, mencemaskan dan mengancam ekonomi berbagai negara.
Pakar manajamen tingkat dunia, Peter Drucker, menyebut gejala ketidakseimbangan antara arus moneter dan arus barang/jasa sebagai adanya decopling, yakni fenomena keterputusan antara maraknya arus uang (moneter) dengan arus barang dan jasa. Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh maraknya bisnis spekulasi (terutama di dunia pasar modal, pasar valas dan proverti), sehingga potret ekonomi dunia seperti balon saja (bubble economy).
Disebut ekonomi balon, karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata tidak berisi apa-apa kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata ia kosong. Jadi, bublle economy adalah sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, namun tak diimbangi oleh sektor riel, bahkan sektor riel tersebut amat jauh ketinggalan perkembangannya.
Tak terelakkan lagi, pengaitan sektor moneter dengan sektor riil merupakan obat mujarab untuk mengatasi gejolak kurs mata uang — seperti yang melanda Indonesia sejak akhir 1997 sampai saat ini. “Perekonomian yang mengaitkan sektor moneter langsung dengan sektor riil akan membuat kurs mata uang stabil.” Inilah yang dijalankan bank-bank Islam dewasa ini, di mana setiap pembiayaan harus ada underline ttansactionnya.
Dikutip dari www.niriah.com (dengan sedikit perubahan)
Komentar Sadam :
· Krisis Keuangan Global
Dunia keuangan global kembali terguncang menyusul pailitnya salah satu lembaga keuangan terbesar, Lehman Brothers. Guncangan ini akan menjadi batu ujian pada kekuatan perekonomian nasional ke depan.
Dalam hal ini, ketahanan perekonomian nasional akan sangat tergantung pada kekuatan sistem keuangan domestic (Kekuatan fundamental perusahaan domestik). Bila sistem keuangan nasional bisa bertahan, sangat mungkin krisis keuangan gobal kali ini tidak akan berdampak terlalu serius. Satu hal yang telah terbukti pada 2007, guncangan awal krisis keuangan global hanya mengakibatkan sekadar riak berupa pelemahan indeks dan nilai rupiah selama beberapa minggu, kemudian mengalami rebound.
Namun, krisis global lanjutan kali ini perlu mendapatkan perhatian lebih serius dari pengambil kebijakan. Beberapa indikator domestik menunjukkan bahwa akan terdapat dampak lebih pada perekonomian nasional. Yang terlihat dari tekanan luar bisa kini tengah terjadi di pasar uang domestik, baik saham maupun obligasi.
Perhatian terutama lebih terfokus pada perusahaan-perusahaan domestik yang terafiliasi dalam bentuk Korporasi dan Konglomerasi. Karena tidak terbantahkan lagi, bentuk organisasi bisnis seperti inilah yang paling banyak memberikan pengaruh kepada sistem keuangan Negara.
Perusahaan domestik yang ada telah lama menjadi lahan investasi jangka panjang dari berbagai lembaga keuangan besar di dunia terutama dari Amerika Serikat. Sehingga efek domino krisis yang mendera negara-negara di Asia sebelum Indonesia akan sangat sulit dihindari. “Jika Cina, Jepang, lalu Thailand, kemudian Malaysia mengalami krisis, kita tak akan dapat menghindar lagi.” Ujar salah seorang praktisi ekonomi dari lingkup pemerintah.
· Efek Domino Internal dari Krisis Keuangan Global
Adanya bentuk konglomerasi atau afiliasi dalam skala besar atas perusahaan (korporasi) dan organisasi bisnis yang ada akan menyebabkan adanya Efek Domino Internal dalam lingkup ekonomi makro. Krisis keuangan yang dialami sejumlah perusahaan kecil akan terinduksi kepada perusahaan besar yang menjadi induk keuangan tempat ia berafiliasi. Bahkan lebih parah lagi, dengan adanya sistem pengikatan internal (Interlocking Directorates), bisa memicu krisis finansial secara interhorizontal, artinya korporasi lain di luar suatu perusahaan namun masih satu induk, bisa ikut terimbas krisis. Sungguh fenomena yang menggambarkan ironi.
Bakrie Group bisa menjadi contoh aktual yang dapat memperjelas fenomena tersebut. Anjloknya saham BUMI dalam perdagangan di Bursa Efek Indonesia (BEI), memicu jatuhnya asset Bakrie Group yang sebelumnya sempat menjadi Konglomerat alias Afiliasi dengan nilai asset terbesar di Indonesia. Bahkan efeknya juga sempat mengimbas pada jatuhnya beberapa nilai saham Bakrie Group lainnya seperti BTEL contohnya.
· Perbandingan Krisis Keuangan di Indonesia dan Amerika Serikat
Krisis global akan berdampak pada perekonomian seluruh negara di dunia. Bahkan Amerika Serikat yang menjadi episentrum krisis itu pun terkena imbasnya. Pertumbuhan ekonominya akan mengalami penurunan bahkan bisa lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia.
Belum lama ini, (Suara Pembaruan, 20/10/08) IMF memprediksikan pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 3,9 persen pada 2008, lebih lambat dari proyeksi sebesar 4,1 persen yang dibuat pada bulan Juli lalu. Demikian pula pada 2009, IMF memprediksikan pertumbuhan dunia sebesar 3,0 persen, jauh di bawah angka angka proyeksi sebesar 3,9 persen sebelumnya.
Sebagai akibat dari krisis, pertumbuhan ekonomi Negara-negara di dunia akan mengalami penurunan. Perekonomian Indonesia misalnya, oleh Bank Dunia diprediksikan tumbuh sebesar 6,1% pada 2008, akan melemah ke angka 5,5% pada 2009. Satu angka yang tidak jauh berbeda dengan target resmi pemerintah sebesar 5,5-6.0%.
Sebagai pembanding, Perekonomian AS sendiri diperkirakan akan mengalami pertumbuhan negatif pada kuartal terakhir 2008. Sementara angka pertumbuhannya pada 2009 diperkirakan hanya 0.1 persen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

hai ... buat lo yang mao nyumbangin saran, komen, ide buat pengembangan Blog w,,, w berharap bgt lo mao nulis n ngetik di sini yah ...

thnks ...

Regards ...
Sadam ...

Salam Sukses