Selasa, November 18, 2008

Makalah_Komunikasi Bisnis

Business Communication
"Communicating Across Culture_Komunikasi Antar Budaya"
Oleh : Muh. Sadam
Mahasiswa S1 Akuntansi 2008
Bakrie School of Management, Jakarta Selatan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Komunikasi adalah hal yang sangat penting, terlebih dalam membangun suatu jaringan atau relasi, apalagi dalam dunia bisnis. Benar-benar faktor yang sangat krusial dan memiliki peranan yang sangat penting. Komunikasi menjadi media atau jembatan dalam membangun interaksi yang sinergis dan kontinu yang diharapkan akan membantu kelancaran misi dalam mencapai visi atau tujuan yang dicita-citakan. Salah satu bentuk komunikasi yang sangat penting dan memang menjadi tuntutan Globalisasi adalah Komunikasi Antar Budaya.
Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi juga turut membuat semaraknya Komunikasi Antar Budaya. Di samping itu juga, semakin terbukanya kesempatan masuknya kegiatan bisnis dari satu negara ke negara lain, menjadikan Komunikasi Bisnis Antar Budaya sebagai suatu pokok bahasan yang menarik.
Di samping itu juga, mengingat Komunikasi Bisnis Antar Budaya ini berhubungan dengan negara lain yang memiliki budaya, bahasa, adat istiadat, nilai-nilai, kepercayaan yang berbeda-beda, maka sangat perlu diadakan suatu telaah dan analisis mengenai hambatan atau kendala apa yang muncul dalam Komunikasi Antar Budaya tersebut.
Berangkat dari fenomena sederhana itu, penulis mencoba untuk menelaah kasus-kasus sederhana seputar Hambatan dalam Komunikasi Antar Budaya, berdasarkan beberapa kasus yang sudah ada dan akan dipaparkan pada bagian selanjutnya.
1.2 Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun berdasarkan hasi analisis penulis atas beberapa studi kasus sederhana yang diberikan, dengan tujuan antara lain:
· Agar pendapat serta analisis penulis seputar studi kasus mengenai Komunikasi Antar Budaya, dapat tersalurkan ke hadapan publik · Agar kita sama-sama memahami pentingnya Komunikasi Antar Budaya sebagai bagian dari aktivitas Internasional yang sangat penting · Sebagai bahan perbandingan bagi penulis atas studi kasus yang dibahas dengan pendapat pihak lain · Memberi paparan kepada para pembaca mengenai Komunikasi Antar Budaya serta hal-hal lain yang berhubungan dengannya · Sebagai bahan referensi dalam mempelajari masalah-masalah seputar Komunikasi Antar Budaya
1.3 Rumusan Masalah
Ada banyak masalah yang dapat dibahas jika kita berbicara mengenai Komunikasi Antar Budaya. Karena pokok bahasan tersebut, adalah materi yang sangat esensial dan krusial serta sangat kompleks, terlebih lagi ruang lingkupnya tidak hanya berada dalam skala lokal, namun ruang lingkupnya sangat luas bahkan tidak terbatas. Namun demikian, dalam makalah ini akan dibahas masalah yang sedikit lebih spesifik.
Adapun masalah yang akan penulis analisa dalam makalah ini, adalah berupa empat buah studi kasus sederhana mengenai kesalahan-kesalahan dalam Komunikasi Antar Budaya. Dalam makalah ini penulis menganalisa perbedaan budaya apa, yang mungkin menyebabkan terjadinya Miskomunikasi dari kasus-kasus berikut:
1. Allan adalah seorang warga Amerika Serikat yang bekerja sebagai perwakilan bagian Marketing dari perusahaan tempat ia bekerja, di Meksiko. Suatu hari, ia membuat suatu perjanjian bisnis dengan seorang warga Meksiko.
Ia berusaha tepat waktu ketika menemui rekan bisnisnya itu. Namun sayangnya, rekan bisnisnya itu datang terlambat sekali. Untuk menghemat waktu, Allan langsung mengajak rekannya itu membahas masalah bisnis mereka, namun yang terjadi justru rekannya itu, membicarakan mengenai keluarganya kepada Allan sambil mengajak Allan melihat-lihat pemandangan sekitar kantornya.
Pembicaraan mereka juga menjadi sangat terganggu tidak hanya karena sang mitra terus menerima telepon dari luar, ia juga sering mengajak orang lain berbicara yang tidak perlu, bahkan anaknya datang dan mengganggu pertemuan mereka. Respon awal Allan sangat negatif. Ia bahkan gagal melakukan penjualan dengan mitranya tersebut. Ia berpikir, mungkin Meksiko bukan tempat yang cocok untuk menjual produk perusahaannya.
2.Untuk membantu perusahaannya berdiri di Jepang, Susan ingin menyewa seorang Translator lokal, yang bisa menasihatinya mengenai bea cukai dalam bidang bisnis di Jepang. Kana Tomari terlihat bagus menurut Susan, yang telah membaca surat Lamaran kerja darinya.
Namun ketika Susan mencoba untuk menggali pengalaman si pelamar, Kana hanya bisa mengatakan “Aku akan melakukan yang terbaik. Aku akan berusaha sangat keras.” Namun Kana tidak pernah menjelaskan detail pengalaman kerjanya kepada Susan. Susan mulai khawatir, kalau-kalau apa yang Kana tulis dalam surat lamarannya hanyalah kebohongan belaka.
3.Stan ingin melakukan suatu negosiasi bisnis dengan seorang pengusaha asal Cina, Mr. Tung-sen lee untuk membuat sebuah perusahaan gabungan. Lalu Stan menanyakan kepada Mr. Lee apakah orang Cina punya cukup pendapatan untuk bisa membeli produknya atau tidak. Lalu Mr. Lee diam sejenak lalu kemudian berkata, “Produk yang anda tawarkan bagus. Saya yakin orang-orang barat akan suka dengan produk anda.” Stan tersenyum karena mengira Mr. Lee sangat tertarik dengan produk yang ia tawarkan, sehingga ia langsung saja memberi kontrak kepada Mr. Lee untuk ditandatangani. Beberapa minggu kemudian, Stan yang masih mengharap respon dari Mr. Lee, justru tidak mendengar apa pun atau menerima berita apa pun dari Mr. Lee. Stan menjadi khawatir dan pesimis, serta menganggap Cina bukan tempat yang efisien untuk menjalankan bisnisnya.
4.Elizabeth sangat bangga dengan gaya kepemimpinannya sebagai seorang manajer. Suatu hari ia mendapat tugas kerja ke India. Di India, ia sangat hati-hati untuk tidak banyak memberi perintah dan tidak terlalu tegas, tetapi ia lebih banyak meminta saran kepada rekan kerja serta bawahannya.
Tapi orang-orang sangat jarang memberikan saran kepadanya. Akibatnya ia mencoba kembali lebih tegas lagi. Namun akibatnya, ia justru semakin tidak dihormati oleh orang-orang di sekitarnya. Dengan penuh rasa kecewa ia berpikir, mungkin orang India belum siap untuk dipimpin oleh seorang wanita.
BAB II
ANALISA MATERI
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Definisi Komunikasi Antar Budaya
Komunikasi Antar Budaya adalah suatu proses mengirimkan dan menerima pesan-pesan antar orang-orang yang latar belakang budayanya dapat mengantar mereka mengartikan tanda-tanda verbal dan nonverbal dengan cara yang berbeda.
Untuk topik ini, kita juga perlu lebih memahami definisi budaya itu sendiri. Budaya bisa memiliki banyak definisi, tergantung dari sudut pandang mana kita mendefinsikannya.
·Menurut Hofstede, budaya dapat diartikan sebagai pemrograman kolektif atas pikiran yang membedakan anggota-anggota suatu kategori orang dari kategori orang lainnya. Dalam hal ini yang menjadi kata kunci budaya adalah Pemrograman Kolektif, yang menggambarkan suatu proses yang mengikat setiap orang, segera setelah kita dilahirkan ke dunia ini. Sebagai contoh, di Jepang ketika seorang bayi baru lahir, tahun-tahun awal kelahirannya si bayi tidur di kamar orang tuanya sendiri. Sedangkan di Amerika dan Inggris, bayi yang baru lahir di tempatkan di kamar yang berbeda beberapa minggu atau bulan kemudian.
·Sementara itu, menurut Bovee dan Thil, budaya adalah System Sharing atas simbol-simbol, kepercayaan, sikap, nilai-nilai, harapan dan norma-norma untuk berperilaku. Dalam hal ini semua anggota dalam budaya memiliki asumsi-asumsi yang serupa tentang bagaimana seseorang berpikir, berperilaku, dan berkomunikasi, cenderung untuk melakukannya berdasarkan asumsi-asumsi tersebut.
Beberapa budaya ada yang dibentuk dari kelompok-kelompok berbeda, namun ada juga yang cenderung homogen. Kelompok berbeda (Distinct Group) yang berbeda dalam wilayah budaya mayoritas lebih cepat dikatakan sebagai sub-budaya (Subcultures). Indonesia adalah contoh negara yang memiliki sub-budaya yang sangat beragam, baik etnis maupun agama. Hal ini berbeda dengan Jepang yang hanya memiliki beberapa sub-budaya dan cenderung bersifat homogen.
2.1.2 Konsep-konsep Perbedaan Budaya
Dalam kehidupan sehari-hari setiap orang akan selalu berhubungan dengan orang lain yang memiliki latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda. Di samping itu ada juga perbedaan dalam hal suku, agama, etnis, pendidikan, status, pekerjaan, dan jenis kelamin. Perbedaan latar belakang budaya, akan sangat mempengaruhi proses mengirim, menerima, dan menafsirkan pesan-pesan kepada orang lain.
Jika pemahaman kita seputar budaya sangat kurang, maka bukan tidak mungkin kita akan terjebak di dalam labirin kesalahpahaman dalam berkomunikasi, terlebih dalam dunia bisnis yang sangat sinergis dengan globalisasi. Keduanya menuntut kita untuk paham dengan budaya orang lain, demi terciptanya keharmonisan dan kesinergisan dalam berinteraksi dengan orang lain. Beberapa konsep perbedaan budaya dapat dilihat dari:
Ø Konsep Peran Budaya menuntun peran yang akan dimainkan seseorang, termasuk dengan siapa mereka berkomunikasi, apa yang dikomunikasikan, dan dengan cara bagaimana mereka berkomunikasi. Sebagai contoh, di banyak negara, khususnya negara-negara yang sedang berkembang, peran wanita dalam dunia bisnis maupun pemerintahan masih relatif lemah. Sementara itu di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa, peran wanita sudah sangat kuat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika wanita-wanita di negara-negara maju tersebut, menduduki posisi yang sangat penting.
Ø Konsep Waktu Konsep waktu juga merupakan faktor yang sangat mempengaruhi perbedaan budaya. Dalam pembahasannya, secara umum, ada dua konsep budaya waktu yang dimiliki masyarakat Internasional, yaitu:
·Budaya Waktu Monochronic, yakni budaya yang menganggap waktu itu seperti suatu garis linear. Waktu itu sangat terbatas, dan tak dapat terulang kembali. Orang yang menganut budaya ini memandang waktu sebagai sesuatu yang sangat berharga, sehingga mereka benar-benar memanfaatkan waktu yang mereka miliki seefisien mungkin. Negara-negara yang menganut budaya Monochronic cenderung berada di wilayah dingin di bagian utara,misalnya Amerika Serikat, Negara-negara Eropa Utara, Rusia, dan terkhusus di wilayah Asia adalah Jepang.
·Budaya Waktu Polichronic, yakni budaya yang memandang waktu sebagai sesuatu yang luwes. Mereka menganggap waktu seperti sebuah spiral yang terus berputar. Jika hari ini ada siang, maka mereka cenderung lebih suka menyelesaikan pekerjaan siang ini, di siang esoknya. Negara-negara yang menganut budaya Polichronic umunya berada di daerah-daerah tropis, misalnya, negara-negara Amerika Latin (Meksiko, Brasil, dll), negara-negara Asia selain Jepang, termasuk Indonesia.
Dunia bisnis, merupakan bidang yang sangat membutuhkan efisiensi waktu yang sangat maksimal. Oleh karena itu, penulis menyisipkan beberapa tips seputar konsep waktu dalam dunia bisnis, yang harus diperhatikan oleh seorang pelaku bisnis.
· Bagaimana mengekspresikan waktu?
· Bagaimana jam kerja yang dapat diterima secara umum?
· Bagaimana pelaku bisnis memandang janji yang terjadwal?
Ø Budaya Konteks (Cultures Context) Konsep yang tidak kalah penting dari Komunikasi Antar Budaya adalah, Budaya Konteks. Hall (1976:91) menggambarkan dua jenis budaya konteks yaitu:
· Budaya Konteks Tinggi (High Context Culture)
· Budaya Konteks Rendah (Low Context Culture)
Komunikasi atau pesan Konteks Tinggi (KT) adalah suatu komunikasi di mana sebagian besar informasinya dalam konteks fisik atau ditanamkan dalam seseorang, sedangkan sangat sedikit informasi dalam bagian-bagian pesan yang “di­atur, eksplisit, dan disampai­kan”. Teman yang sudah lama saling kenal sering menggunakan KT atau pesan-pe­san implisit yang hampir tidak mungkin untuk dimengerti oleh orang luar. Situasi, se­nyuman, atau lirikan memberikan arti implisit yang tidak perlu diucapkan.
Dalam situa­si atau budaya KT, informasi merupakan gabungan dari lingkungan, konteks, situasi, dan dari petunjuk nonverbal yang memberikan arti pada pesan itu yang tidak bisa dida­patkan dalam ucapan verbal eksplisit.
Pesan Konteks Rendah (KR) hanyalah merupakan kebalikan dari pesan KT, sebagian besar informasi disampaikan dalam bentuk kode eksplisit. Pesan-pesan KR harus diatur, dikomunikasikan dengan jelas, dan sangat spesifik. Tidak seperti hubungan pribadi, yang relatif termasuk sistem pesan KT, institusi seperti pengadilan dan sistem formal seperti matematika atau bahasa komputer me­nun­tut sistem KR yang eksplisit karena tidak ada yang bisa diterima begitu saja.
Budaya konteks yang ditemukan di Timur (Termasuk Indonesia), Cina, Jepang, dan Korea merupa­kan budaya-bu­daya berkonteks sangat tinggi. Bahasa merupakan sebagian dari sistem komunikasi yang paling eks­plisit, namun bahasa Cina merupakan sistem konteks tinggi yang implisit. Orang-orang dari Amerika sering mengeluh bahwa orang Jepang tidak pernah bicara langsung ke pokok permasalahan, mereka gagal dalam memahami bah­wa budaya KT harus memberikan konteks dan latar dan membiarkan po­kok masalah itu berkembang (Hall, Edward T, 1984).
Adapun budaya konteks rendah dimiliki oleh negara-negara maju di kawasan Amerika Utara, dan negara-negara Eropa. Orang-orang di negara-negara ini cenderung mengatakan sesuatu secara langsung (To The Point) tanpa harus membuat suatu kode implisit dalam bentuk basa-basi. Sesuatu yang cukup bisa dianggap sebagai hal yang positif.
2.1.3 Tantangan dalam Komunikasi Antar Budaya
Keanekaragaman budaya mempengaruhi cara pesan-pesan disusun, direncanakan, dikirim, diterima, dan dipresentasikan. Semakin meningkat keanekaragaman budaya saat ini, menimbulkan rentang yang luas mengenai keterampilan, tradisi, latar belakang, pengalaman, wawasan, dan sikap. Semua itu dapat mempengaruhi perilaku setiap orang dalam merespon perilaku orang lain.
Sangat banyak hambatan dan tantangan yang akan muncul dalam melakukan komunikasi Antar budaya. Kita bisa berangkat dari pemahaman mengenai sensitivitas antar budaya, etnosentrisme dan stereotip.
·Sensitivitas budaya yang dimaksud di sini adalah, tingkat kepekaan yang kita miliki dalam memahami suatu budaya terutama budaya yang baru kita temui apa lagi budaya tersebut memiliki nilai-nilai filosofis yang bertentangan dengan budaya yang kita miliki.
·Etnosentrisme adalah suatu kecenderungan untuk menilai semua kelompok lain menurut standar, perilaku, dan kebiasaan kelompoknya sendiri. Sikap yang jauh kebih ekstrem lagi adalah, Xenophobia, yaitu suatu ketakutan pada orang yang tak dikenal, dan kepada orang-orang luar negeri. Sangat jelaslah, orang-orang dengan pandangan seperti ini, tidak akan menginterpretasikan pesan-pesan dari budaya-budaya lain dengan benar ataupun mereka kemungkinan tidak akan mengirimkan pesan-pesan dengan sukses.
·Stereotip, yaitu suatu cara pandang budaya yang terdistorsi, di mana seseorang cenderung untuk memberikan atribut-atribut budaya kepada seorang individu atas dasar keanggotaan individu tersebut dalam suatu kelompok tertentu tanpa mempertimbangkan karakter unik individu tersebut. Jika Etnosentrisme dan Xenophobia mewakili pandangan negatif tentang semua orang dalam suatu kelompok, maka stereotip lebih berkenaan dengan hal terlalu menyederhanakan dan kegagalan untuk mengakui individualitas.
Semua sikap-sikap di atas, adalah bagian fakta dari banyaknya hambatan serta tantangan yang dialami dalam melakukan komunikasi antar budaya. Namun kita juga bisa memberikan angin segar atas permasalahan itu dengan jalan mencari solusi yang tepat untuk menghindari atau mengatasinya.
Salah satu cara pandang yang lebih positif adalah Pluralisme Budaya, yakni suatu praktik yang menerima budaya sebagaimana adanya. Ketika kita menyeberangi batas-batas budaya, maka tentu akan menjadi lebih efektif jika kita bergerak lebih jauh dari hanya sekadar menerima dan menyesuaikan gaya komunikasi kita dengan budaya baru yang kita hadapi.
2.2 Teknik Pemecahan Masalah
2.2.1 Analisa Kasus No. 1
Dari permasalahan yang sudah disebutkan pada bagian pendahuluan makalah ini, kasus No. 1 nampaknya adalah kasus miskomunikasi yang lebih disebabkan oleh perbedaan konsep budaya waktu.
·Allan merupakan warga Amerikia Serikat yang menganut budaya waktu Monochronic (Lihat landasan teori), dimana ia adalah tipe orang yang sangat menghargai waktu.
·Sedangkan rekan kerjanya yang merupakan warga Meksiko, adalah tipe orang yang berbudaya waktu Polichronic, dimana ia tidak terlalu efisien dalam memanfaatkan waktu yang ada. Disinilah pangkal ketidaksinergisan komunikasi atau miskomunikasi yang terjadi antara Allan dan rekan kerjanya.
Secara konseptual, kesalahan atau ketidaksinergisan seperti ini sangat wajar, mengingat peran keduanya yang sama-sama baru dalam ruang lingkup kasus tersebut. Allan yang mendapat peran sebagai tamu di Meksiko, seharusnya berusaha untuk lebih memahami budaya rekannya yang dalam kasus di atas, kebetulan berperan sebagai tuan rumah.
Berdasarkan konsep di atas, kita juga dapat mengatakan kalau miskomunikasi dari kasus di atas, juga disebabkan oleh kurangnya persiapan (Back Stage) dari masing-masing pihak dalam memainkan perannya. Sebelum memulai bisnis dengan rekan kerjanya, seharusnya Allan terlebih dahulu sudah harus punya pemahaman tentang latar belakang budaya rekan kerjanya itu. Dengan mengetahui, latar belakang budaya rekan kerjanya itu, ia bisa lebih antisipatif kalau-kalau hal seperti dalam kasus tersebut terjadi.
Demikian pula si rekan kerja itu. Memang ia adalah tipe orang yang polichronic, dan hal tersebut, akan sangat sulit untuk dirubah, mengingat hal itu sudah menjadi karakter budaya kesehariannya sebagai orang Meksiko yang cenderung memberi kesan Implisit kepada lawan bicaranya.
Namun dengan alasan itu, bukan berarti ia harus melenyapkan semua sisi profesionalitas serta komitmennya, yang dalam hal ini berkaitan dengan janji bisnisnya dengan Allan.
Intinya, selain karena perbedaan pemahaman atas konsep waktu, kurangnya persiapan, perbedaan budaya konteks (konteks rendah yang bertemu dengan konteks tinggi), serta kurangnya kesepahaman komitmen dan profesionalitas keduanya, memicu ketidaksinergisan atau miskomunikasi kasus di atas.
2.2.2 Analisa Kasus No. 2
Kasus No.2 adalah kasus yang sekilas nampaknya tidak begitu menunjukkan kasus miskomunikasi, namun jika di telaah lebih dalam, maka akan Nampak kasus yang sebenarnya terjadi. Kasus yang kedua ini, lebih merujuk kepada konsep budaya konteks (Culture Context). Pada kasus yang pertama tadi, pengaruh budaya konteks sepertinya kurang mengena, walaupun tetap saja memberi pengaruh yang cukup besar pada kasus tersebut. Beda dengan kasus kedua ini. Kasus ini lebih disebabkan oleh budaya konteks yang terlalu menonjol.
·Kana Tomari yang merupakan warga negara Jepang, adalah orang dengan tipe budaya Konteks Tinggi (High Context). Di mana, ia cenderung untuk mengatakan sesuatu secara tidak langsung, tetapi melalui suatu pengantar yang disebut basa-basi. Ia cenderung berkomunikasi lewat media komunikasi, baik verbal maupun nonverbal namun sifatnya eksplisit. Artinya, orang akan sangat sulit mencerna kata-kata yang ia maksudkan dalam ucapannya. Orang bisa, menafsirkan bermacam-macam atas apa yang ia katakana, bahkan orang bisa menjadi salah mengartikan atas apa yang ia maksudkan dalam ucapannya.
·Sebagai contoh pada kasus di atas. Ketika Susan menuntut, pengalaman real dari Kana atas kinerjanya sebagai translator, Kana justru memberikan jawaban lisan yang sangat menggantung bagi Susan. Jawaban dnengan konteks tinggi. Tidak langsung pada jawaban yang sbenarnya.
·Akibatnya, Susan pun menjadi salah pengertian dalam menanggapi maksud kata-kata Kana yang seakan-akan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Susan. Bahkan Susan jadi beranggapan bahwa apa yang ditulis oleh Kana dalam Surat lamaran kerjanya adalah kepalsuan. Sungguh ironis memang.
Di samping itu juga, seperti pada kasus No.1 di atas, kasus kedua ini, juga dapat disebabkan oleh kurang maksimalnya Back Stage masing-masing pihak sebelum saling berinteraksi satu sama lain. Miskomunikasi di atas, masih dapat dihindari seandainya, masing-masing pihak saling mengerti akan latar belakang budaya mereka.
·Seandainya Susan paham dengan budaya konteks tinggi yang dimiliki Kana, tentu ia tidak akan langsung mencerna apa yang dikatakan oleh Kana. Ia akan menganalisa terlebih dahulu, maksud dari kata-kata Kana. Sehingga ia tidak langsung men-Judge bahwa apa yang ditulis oleh Kana adalah sebuah kepalsuan.
·Sebaliknya, Kana yang jika paham dengan Susan yang tidak berbudaya konteks tinggi, akan mengurangi kata-katanya yang memang sangat implisit dan bisa menimbulkan banyak penafsiran. Dengan memahaminya pula, ia bisa langsung menggunakan kata-kata yang lugas dan jelas, sehingga tidak akan membuat Susan salah dalam mengartikan kata-katanya.
2.2.3 Analisa Kasus No. 3
Kasus ini cenderung lebih menunjukkan miskomunikasi yang sesungguhnya. Kata-kata yang secara polos keluar dari mulut Mr. Lee, langsung diartikan apa adanya oleh Stan. Benar-benar respon yang tidak antisipatif. Hal ini secara umum disebabkan oleh perbedaan budaya keduanya. Namun kita bisa menelaah penyebab lain yang lebih spesifik.
·Secara umum, Mr. Lee yang merupakan warga negara Cina, tentu menganut budaya konteks tinggi dalam komunikasinya. Sehingga ia akan cenderung untuk megatakan sesuatu tidak secara langsung. Sulit untuk berkata “Tidak”. Oleh karena itu, akan ada kemungkinan yang besar, Stan tidak akan memahami secara langsung dan tepat apa yang dimaksud dalam kata-kata Mr. Lee.
·Sedangkan Stan seharusnya lebih Prepare dalam memahami budaya Mr. Lee yang merupakan budaya konteks tinggi, sehingga ia tidak langsung saja mengartikan apa yang dikatakan oleh Mr. Lee. Ia juga harusnya memahami bahwa budaya High Context adalah budaya yang harus memberikan konteks dan latar sehingga pokok masalah jangan dibiarkan berkembang lagi. Artinya, jika Stan paham akan budaya Konteks tinggi yang dimiliki Mr. Lee, ia tidak akan langsung menganggap negatif tindakan yang dilakukan oleh Mr. Lee.
2.2.4 Analisa Kasus No. 4
Kasus No.4 ini, sangat jelas berada dalam paparan konsep perbedaan peran yang berorientasi pada gender. Seperti yang penulis paparkan dalam kajian teori sebelumnya, bahwa salah satu pemicu miskomunikasi adalah perbedaan budaya dalam konsep Peran.
Miskomunikasi dalam kasus ini, lebih disebabkan oleh konsep budaya di India yang memang belum mengakui kepemimpinan seorang wanita. Seperti yang sudah diungkap sebelumnya, bahwa di beberapa negara, utamanya negara-negara yang sedang berkembang, peran perempuan dalam pemerintahan atau pun dalam pengambilan keputusan sangatlah lemah dan minim. Dan budaya seperti inilah yang tengah dihadapi Elizabeth di India.
·Elizabeth seharusnya lebih memahami perbedaan budaya peran yang dimiliki masyarakat India, dengan kata lain ini berorientasi pada kurangnya persiapan (Back Stage) dari dia sendiri yang akan menghadapi suatu komunitas baru, yang tentu memiliki komponen budaya yang belum tentu sama dengan yang dipahaminya selama ini.
·Di samping itu, masyarakat India baik yang terlibat langsung dalam komunikasi dengan Elizabeth atau pun yang secara tidak langsung berinteraksi dengannya, seharusnya lebih fleksibel menghadapi perubahan yang mereka alami (Front Stage). Mereka tidak harus secara spontanitas menjadi tidak respect terhadap Elizabeth yang menjadi pimpinan mereka.
·Ada satu hal yang mungkin sedikit radikal dan sangat sulit untuk dirubah dalam kasus ini, yaitu basis agama masyarakat India yang mayoritas Hindu. Di mana dalam ajaran Hindu ada ajaran yang men-doktrin bahwa seorang wanita tidak cocok untuk menduduki jabatan sebagai pemimpin. Mirip-mirip dalam konsepsi Islam, namun dalam kasus ini, penulis lebih merujuk pada konsepsi Hindu, dengan asumsi mayoritas penduduk India adalah beragama Hindu.
Demikianlah sekilas analisis mengenai empat kasus sederhana dalam masalah Komunikasi Antar Budaya. Secara umum, pembaca tentu dapat melihat, bahwa yang menyebabkan adanya ketidak-sinergisan dalam komunikasi antar budaya, secara umum lebih disebabkan oleh perbedaan basis kultural masing-masing pihak yang terlibat dalam proses komunikasi itu sendiri. oleh karena itu, sedapat mungkin, kita harus bisa, minimal mulai belajar untuk bisa saling memahami budaya antara orang yang satu dengan yang lain, sehingga miskomunikasi semakin dapat kita hindari.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan Umum (Komunikasi Antar Budaya)
Berdasarkan semua pembahasan pada bagian sebelumnya, kita bisa memberi kesimpulan secara umum, mengenai Komunikasi Antar Budaya, yaitu:
·Komunikasi Antar Budaya adalah suatu proses mengirimkan dan menerima pesan-pesan antar orang-orang yang latar belakang budayanya berbeda, sehingga membuka peluang mereka untuk salah dalam mengartikan ungkapan verbal ataupun nonverbal yang diucapkan satu sama lain.
·Ada banyak hal yang bisa menjadi jembatan penyebab terjadinya miskomunikasi dalam proses komunikasi antar budaya, diantaranya, perbedaan konsep peran dan status, perbedaan Budaya konteks (Cultures Context), perbedaan konsep waktu, serta perbedaan gender.
·Ada banyak tantangan dan hambatan yang dapat kita temui dalam Komunikasi Antar Budaya, yakni kecenderungan untuk mengikuti pola pikir negatif sperti Etnosentrisme, Xenophobia, dan Stereotip. Namun kita bisa mengatasinya dengan lebih mengembangkan sikap Pruralisme Budaya.
3.2 Kesimpulan Khusus (Analisis Empat Kasus Sederhana)
Pada bagian ini, kita akan menyimpulkan secara khusus, dengan fokus kepada permasalahan yang diberikan yaitu:
·Miskomunikasi yang terjadi pada kasus No.1, disebabkan oleh beberapa hal antara lain, perbedaan konsep Budaya Waktu antara Allan yang berbudaya Monochronic dan rekan kerjanya yang Polichronic. Selain itu, kurangnya pemahaman tentang latar belakang budaya masing-masing pihak juga menjebak mereka dalam miskomunikasi tersebut.
·Kasus yang kedua, secara umum tidak jauh berbeda dengan penyebab kasus yang pertama. Namun kasus yang kedua ini juga dikarenakan kurangnya persiapan (Back Stage) dari masing-masing pihak untuk terlebih dahulu memahami budaya masing-masing, sehingga tidak muncul sikap cepat menilai atas budaya orang lain apa lagi sampai mengarah kepada sikap stereotip.
·Untuk kasus yang ketiga, sangat jelas bahwa Perbedaan Budaya Konteks (Cultures Context) telah menjadi pemicu utama ketidak-sinergisan komunikasi antara Stan dan Mr. Lee. Selain itu, juga tetap disebabkan oleh kurangnya pemahaman budaya masing-masing.
·Kasus yang terakhir secara umum juga sama dengan kasus-kasus sebelumnya, yakni miskomunikasi yang terjadi disebabkan oleh perbedaan dan kurangnya pemahaman atas budaya masing-masing. Namun secara spesifik, kasus terakhir ini, lebih disebabkan oleh perbedaan Konsep Peran dan Perbedaan Gender.
DAFTAR PUSTAKA
Guffey, Mary Ellen, dkk. 2005. Business Communication : Process and Product, 4th edn. Thomson Nelson, New York.
Locker, K.O and Kazcmarek, S. K. 2007. Basic Business Communication, 10th edn. McGraw-Hill, New York.
Bovee, Courtland L and Thill, John V.2008. Business Communication Today, 9th edn.Pearson Education, United States ofAmerica.
Purwanto, Djoko. 2002. Komunikasi Bisnis, edisi ke-2: Jakarta. PT. Erlangga.
WWW.Google.com ”Komunikasi Antar Budaya”: delianur-hasba.blogspot.com/2007/08/komunikasi-antar-budaya-2_2909.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

hai ... buat lo yang mao nyumbangin saran, komen, ide buat pengembangan Blog w,,, w berharap bgt lo mao nulis n ngetik di sini yah ...

thnks ...

Regards ...
Sadam ...

Salam Sukses